Jumat, 01 Juni 2012

MENJADI GURU YANG FROPESIONAL

Menjadi Guru Profesional


Guru………..

Perilakumu digugu dan ditiru

Dipuja dan dihormat

Niat tulusmu ialah semangat kehidupan bagi muridmu

Ucapmu ialah pelajaran kehidupan bagi muridmu

Perilakumu ialah teladan kehidupan bagi muridmu

Yang tak kan pernah hilang ditelan waktu

Tapi…..

Kadang ku berpikir…..

Masih adakah pribadi guru yang seperti itu?

Masih adakah sang pahlawan tanpa tanda jasa itu?

Ah, sungguh bagai mencari jarum dalam jerami…

Sekarang uang sudah menjadi segalanya

Sudah bisa mengalahkan indahnya arti sebuah ketulusan

Tapi ku yakin…..

Sang pejuang kehidupan itu masih ada

Karena manusia masih punya hati nurani

Sengaja saya awali tulisan ini dengan seuntai puisi yang muncul karena ketidakmengertian diri saya terhadap para pendidik ‘masa kini’. Guru, selama ini sering dipandang orang sebagai profesi nomer dua dan hanya sebagai pilihan terakhir dalam memilih pekerjaan. Kenapa? Karena kalau kita bertanya pada anak didik kita tentang cita-cita mereka, mungkin hanya 1 atau 2 orang yang ingin menjadi ‘pahlawan tanpa tanda jasa itu’ . Kadangkala saya sering bertanya pada diri saya sendiri, kenapa orang sangat tidak tertarik untuk menjadi guru. Kalaupun sekarang banyak sekali universitas atau perguruan tinggi yang mencetak para sarjana pendidikan, itu karena mereka tidak lulus masuk seleksi jurusan favorite yang mereka inginkan dan lebih bergengsi. Hal itu terjadi karena profesi ini dinilai sebagai pekerjaan yang tidak begitu ‘basah’. Buktinya, kita sering mendengar banyak guru yang mengeluh karena gajinya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Dan bahkan kita sering melihat para guru berdemo minta kenaikan gaji. Miris sekali kalau kita menyaksikan hal yang seperti itu. Orang yang berjasa dalam mendidik para generasi bangsa belum mendapatkan perhatian yang layak baik itu dari Pemerintah maupun dari masyarakat sekitarnya.

Hal yang menarik perhatian saya ialah ketika gaji para anggota DPR bernilai puluhan atau bahkan sampai ratusan juta rupiah, gaji dokter, entertainer, maupun orang kantoran mendapatkan gaji yang tidak sedikit. Tapi kalau kita perhatikan gaji seorang guru sangat jauh berbeda dari mereka, apalagi para guru honorer yang hanya bisa mengajar dengan niat ikhlas tanpa berharap lebih dari profesinya itu.

Maka jangan heran, kalau banyak guru yang mencari sampingan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Memang tidak ada yang salah apabila guru memiliki pekerjaan yang lain selain mengajar di sekolah, selama apa yang ia kerjakan ada hubungannya dengan profesinya sebagai seorang pendidik. Tetapi ketika sampingannya itu tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan, maka yang terjadi akan ada ketimpangan dan pada akhirnya akan berakibat pada profesinya sebagai seorang pendidik.

Ada banyak kasus yang terjadi di masyarakat tentang seorang guru yang ‘mendua’. Diantaranya saja, seorang guru yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek, tukang becak, tukang parkir, dan bahkan ada yang menjadi seorang pemulung. “Gajiku tidak cukup untuk menghidupi anak dan istri”, itu yang terucap dari mulut sang guru ketika ditanya oleh rekan guru yang lainnya.

Jadi, apakah seperti itu profil guru professional? Apakah guru masih bisa mengajar secara professional ketika dalam pikiran mereka tersimpan berjuta masalah kehidupan?

Professional, menurut kamus Inggris-Indonesia (M. Echols,John & Hassan Shadily), berarti ahli. Jadi, guru professional berarti guru yang ahli. Ahli berarti kompeten dalam bidangnya. Seorang yang professional akan bekerja sekuat tenaga mencurahkan segala perhatian untuk profesinya itu. Dia akan terus berusaha untuk selalu mencari hal-hal yang bisa membuat dirinya lebih baik dan lebih capable dalam bidangnya.

Ada beribu pertanyaan lagi yang mengganjal dalam hati. Apakah semua guru bisa menjadi guru professional? Apakah menjadi guru professional itu mudah? Apakah ada jaminan kesejahteraan ketika guru bersikap professional?

Untuk menjadi guru professional sebenarnya tidaklah sulit jikalau kita mempunyai keinginan yang kuat untuk menggapainya. Bukan artinya saya menganggap mudah hal ini, tetapi yakinlah kalau tidak ada yang tidak mungkin untuk kita capai selagi nafas masih berhembus, hati masih berniat, otak masih berpikir, mulut masih berucap, perilaku masih terwujud.

Hidup adalah pilihan, kita sebagai pendidik tinggal memilih apakah kita mau untuk menggapainya. Karena bukan masalah mampu atau tidak mampu, tetapi mau atau tidak kita menjadi seorang guru professional. Kita semua mampu untuk menjadi guru yang professional dan berkualitas.

Menjadi seorang yang ahli dalam hal mendidik generasi bangsa merupakan suatu pemberian yang luar biasa dari Allah SWT. Sungguh kenikmatan yang tidak bisa ditukar dengan materi ketika melihat anak didik menjadi seorang yang sukses. Kita merasa bahagia dan bangga ketika anak didik kita mengabarkan pada kita bahwa apa yang kita ajarkan ternyata sangat bermanfaat baginya. Kadangkala tak terasa air mata haru dan bahagia menetes dari kedua bola mata kita mengingat anugerah yang begitu besar ini.

Guru yang professional ialah guru yang bisa mengenal siapa dirinya, sehingga ia akan dengan mudah mengenal siapa anak didiknya. Dan dengan modal itu semua, ia akan mudah untuk mengantar anak didiknya menjadi pribadi yang cerdas hati, cerdas fikir dan cerdas perilaku.

Kita harus ingat bahwa tugas utama kita sebagi pendidik bukan hanya sebagai alat pentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga harus menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya. Jangan sampai kita berikan paradigma yang salah pada anak didik kita. Karena tak jarang banyak guru yang sering berkata pada anak didiknya, “Nggak apa-apa nakal yang penting pintar, nilainya bagus, ujian lulus.” Saya sering merasa sedih ketika mendengar perkataan ‘lempeng’ rekan guru itu. Seperti yang betul perkataan itu, tapi kalau kita cermati, perkataan itu memiliki dampak yang negative. Ketika kita berkata seperti itu, berarti kita hanya akan mencetak fi’aun-fir’aun baru yang hanya mengagung-agungkan ilmu pengetahuan tanpa memahami kandungan yang tersirat didalamnya. Kita akan meluluskan orang-orang pintar tapi bodoh. Mereka tak tahu apa yang mereka pelajari. Mereka tak paham apa yang mereka tahu. Oleh karena itu, tidak heran kalau sekarang banyak lulusan sarjana yang pola pikirnya masih seperti anak TK. Artinya, mereka kaya dalam ilmu pengetahuan tetapi miskin dalam moral dan aqidah. Yang ujung-ujungnya ilmu yang mereka peroleh dari bangku sekolah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri dan juga orang lain.

Guru yang professional, ialah guru yang memiliki kemampuan untuk mengantar anak didiknya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari salah menjadi benar. Bukan sebaliknya, yang terjadi sekarang ini, guru datang ke sekolah hanya sekedar memenuhi absen harian agar cepat diagkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Mereka akan lebih semangat dan sibuk mengurus kelengkapan sertifikasi dan membahas dana BOS daripada mencari metode apa yang terbaik untuk anak didiknya agar menjadi lebih baik lagi.

Guru professional tidak akan membeda-bedakan murid berdasarkan kecerdasan semu semata. Tidak akan menyebut kamu bodoh dan kamu nakal. Guru professional tidak akan gila hormat. Guru professional akan mengajar dengan penuh tanggung jawab dan disipilin, tidak hanya ketika ada penilaian dari kepala sekolah atau penilik saja, tetapi ada atau tidak ada atasan, mereka akan mengajar dengan penuh perhatian pada anak didiknya.

Tidak akan terjadi masalah siswa malas belajar, benci sama pelajaran, atau apalagi enggan untuk pergi ke sekolah, jika guru bersikap professional terhadap pekerjaannya. Karena yang terjadi saat ini, sebagian guru menyampaikan materi hanya dari apa yang ada di dalam buku panduan, tanpa mau mengembangakan apa yang ada dalam kurikulum. Mereka beranggapan kalau terlalu banyak metode yang diterapkan akan membingungkan siswa dan guru itu sendiri. Mereka pun beranggapan kalau metode yang mereka pakai selama bertahun-tahun sudah terbukti hasilnya. Padahal dari masa ke masa, anak didik kita semakin canggih. Kadangkala kita sebagai gurunya kalah bersaing dengan mereka. Mereka sudah mengenal dunia luar lebih cepat dibandingkan kita, karena mereka begitu familiar dengan sarana komunikasi modern. Mereka mencari apa yang mereka tidak tahu dan tidak paham melalui media, baik itu elektronik maupun cetak. Sedangkan kita membuka internet pun mungkin sebulan sekali atau bahkan mungkin memegang keyboard computer pun masih canggung. Membeli buku, koran atau majalah pun jarang, karena uang yang ada tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga kita sering ‘kecolongan’ dengan sikap anak-anak didik kita.

Jadi, jangan salahkan anak didik kita kalau semangat mereka begitu kecil terhadap mata pelajaran yang kita ajarkan. Sebagian siswa sering bilang lebih baik mereka cari tahu sendiri dari internet dari pada harus mendengarkan penjelasan guru yang bikin mereka pusing tujuh keliling. Karena bukankah otak kita itu senang kepada hal-hal yang menarik, colourful, dan tidak monoton. Tapi, apa yang mereka dapatkan dari guru mereka? Rangkuman yang seabreg, ceramah yang membosankan, tugas yang menumpuk, dan sikap guru yang pemarah serta lingkungan sekolah yang tidak menarik perhatian. Yang hasilnya hanyalah wasting time saja. Hanya sebagai pemenuhan kewajiban, baik sebagai siswa maupun sebagai guru. Dan sebenarnya kita sudah menghabiskan dana trilyunan rupiah hanya untuk membiayai hal-hal yang kurang kreatif ini dengan embel-embel untuk kepentingan pendidikan.

Tapi saya yakin, niat mereka itu baik yaitu untuk mencerdaskan bangsa. Sayangnya, kita itu hanya bagus jargonnya saja, tapi pengaplikasian di lapangannya big zero. Banyak sekali kebohongan berjamaah dalam dunia pendidikan kita. Sekolah tidak mau nama baiknya tercemar, yang pada akhirnya mereka buat tim sukses ketika UN berlangsung. Mereka berikan kunci jawaban kepada siswa mereka tanpa merasa berdosa. Padahal mereka ajarkan tentang bersikap baik dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Jadi, para guru ini seperti seorang dokter yang memberi obat pada pasien tapi diberikannya berbarengan dengan makanan atau minuman yang bisa menyebabkan penyakitnya kambuh lagi atau tambah parah. Jadi, obat yang diberikan tidak akan ada manfaatnya. Begitu pun yang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini, kita ajarakan teori-teori tentang hal-hal yang baik berdasarkan buku panduan, tetapi di samping itu kita ajarkan yang kurang atau bahkan tidak baik melalui praktek bersikap dan berucap sehari-hari.

Dan bukankah kita sebagai seorang pendidik paham, kalau pengajaran yang paling cepat berpengaruh adalah melalui praktek. Anak didik kita akan merasa cepat paham dan akan selalu ingat jika mereka melihat dan langsung mempraktekannya. Dari hasil penelitian para ahli pun telah banyak membuktikan hal itu. Menurut Dr. Vernon A. Magnesen (1983), kita mendapat 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.

Jadi, jangan berharap para generasi bangsa ini akan menjadi seorang yang berilmu dan berakhlak mulia, jika pendidikan di Negara kita masih seperti itu. Jangan bermimpi kualitas pendidikan kita akan meningkat jika gurunya sendiri tidak memiliki mental dan motal yang berkualitas. Kita jangan menutup mata dan telinga kita, jika di Negara ini masih banyak guru-guru yang takut untuk keluar dari zona nyaman. Takut untuk merubah kebiasaan yang selama ini membentengi kesuksesan siswa dan diri mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar